11 Desember 2010

= WISUDA THE UNIVERSITY OF TARBIYAH =

"Akhi ana dulu merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan teasa makin hambar, ukhuwah makin kering, bahkan ana melihat ternyata ikhwan banyak yang aneh-aneh". begitu keluh kesahnya seorang mad'u kepada seorang murabbinya suatu malam. Sang murabbi hanya terdiam, mencoba untuk menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya.

"Lalu apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?", sahut sang murabbi setelah sesaat termenung. "Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini, Ana kecewa dengan prilaku beberap ikhwan yang justru tidak islami, juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi angota-anggotanya. Bila begini terus ana mendingan sendiri aja", jawab mad'u itu.

Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahui sejak awal. "Akhi bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas, kapal itu ternyata sangat bobrok, kayunya banyak yang keropos, layarnya banyak berlubang, bahkan kabinnya banyak kotoran manusia. Lalu apakah antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan ?." Tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam. Sang mad'u terdiam dan berfikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat. "Apakah antum memilih terjun kelaut dan berenag sampai tujuan", sang murabbi mencoba memberi opsi.". Bila antum terjun kelaut, sesaat antum akan merasa senang. Bisa bebas dari kotoran amnusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba, tapi itu hanya sesaat.

Berapa kekuatan antum untuk berenag hingga sampai ke tujuan ?. Bagaiman bila ikan hiu datang, bagaiman antum mengatasi hawa dingin?". Serentetan pertanyaan itu dihamparkan kehadapan sang mad'u. Tak ayal sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa hatinya menhan kegundahan. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberikan jalan yang sesuai dengan keinginannya.

"Akhi apakan antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan antum untuk mencapai ridho Allah..?." "Bagaimana bila ternyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu mogok?, Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak ditengah jalan, atau mencoba memperbaikinya, Tanya sang murabbi lagi.

Sang mad'u tetap terdiam dalam sesunggukan tangis perlahannya. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, "Cukup akhi, cukup, ana sadar.. maafkan ana, ana akan tetap istiqomah. Ana berdakwah bukan untuk mendapatkan medali kehormatan, atau setiap kata-kata ana diperhatikan..."

Biarlah yang lain tetap dengan urusan pribadinya. Biarlah an tetap berjalan bersama dakwah. Dan hanya Allah yang akan membahagiakan an kelak dengan janji-janjiNya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan menjadi pelebur dosa-dosa ana". Sang mad'u berazzam dihadapan sang murabbi yang semakin dihormatinya.

Sang murabbi tersenyum, "Akhi, jamaah ini adalah jamaah manusia. Mereka adalah insan yang banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah uuntuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses untuk menjadi manusia yang terbaik dihadapan Allah. Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum, sebagaimana Allah Ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka terhadap dakwah selama ini. karena dimata Allah, antum belum tentu lebih baik daripada mereka..."

"Futur, mundur, atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidaksepakatan disikapi dengan jalan itu, maka kapakah dakwah ini akan berjalan dengan baik", sambungnya panjang lebar. "Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar, atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i, kita adalah khalifah. Kitalah yantg diserahi amanat oleh allah untuk membenahi masalah-masalah dibumi. Bukan mengekposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing jurang masalah.

"Jangan sampai kita menyiram bensin ke bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi api yang besar yang dapat membakar apa saja". "Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah tausiah dalam kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang kepada semua ikhwan yang terlibat dalam dakwah, karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada isu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan ghil terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya.."

Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan itu melebar dengan akrabnya. Tak terasa kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil air wudhu untuk Qiyamullail. Malam itu sang mad'u sibuk membangunkan mad'un lainnya dari asyik tidurnya. Malam itu sang mad'u menyadari kesalahannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama dakwah. Pencerahan telah dierolehnya.

Demikian yang kami harapkan dari antum sekalian. Semoga memberi manfaat.
TAHAPAN DEMI TAHAPAN
BANYAK YANG TELAH BERGUGURAN
TETAP TEGAR DALAM MANHAJ TARBIYAH

-Abu Amrul Haq-
kupostingan dalam gerimis malam, ada Rabithoh untukmu kawan-

06 Desember 2010

KISAH TUKANG BAKSO

Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai.. Hujan rintik-rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.

Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor….. terdengar suara tek…tekk.. .tek…suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat…, ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak-anak, siapa yang mau bakso?

“Mauuuuuuuuu..”, secara serempak dan kompak anak-anak asuhku menjawab.

Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya.

Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini.

“Mang kalo boleh tahu, kenapa uang-uang itu pisahkan? Barangkali ada tujuan?”

“Iya pak, memang sengaja saya memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak saya, mana yang menjadi hak orang lain / amal ibadah, dan mana yang menjadi hak cita-cita penyempurnaan iman seorang muslim”.

“Maksudnya…?”, saya melanjutkan bertanya.

“Iya Pak, kan agama dan islam menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Sengaja saya membagi 3 tempat, dengan pembagian sebagai berikut :

1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari untuk keluarga.

2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq /sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso saya selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.

3. Uang yang masuk ke kencleng, karena saya ingin menyempurnakan agama yang saya pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar, Maka kami sepakat dengan istri bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini kami harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji.. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi saya dan istri akan melaksanakan ibadah haji.

Hatiku sangat… sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.

Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : “Iya tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…? termasuk memiliki kemampuan dalam biaya…?

Ia menjawab, “Itulah sebabnya Pak, justru kami malu kepada Tuhan kalau bicara soal Rezeki karena kami sudah diberi Rizky. Semua orang pasti mampu kok kalau memang niat..?

Menurur saya definisi “mampu” adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri ebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, “mampu”, maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita kok.

“Masya Allah… sebuah jawaban dari seorang tukang bakso”.

Sahabat…..
Cerita perjalanan spiritual ini sangat sederhana dan jadi inspirasi. Semoga memberi hikmah terbaik bagi kehidupan kita. Amien……..

Dalam hadits Qudsi,
“Sesungguhnya Allah berfirman: Aku akan mengikuti prasangka hamba-Ku dan Aku akan senantiasa menyertainya apabila berdoa kepada-Ku” (HR. Bukhari Muslim)

sumber: buyanur.com