26 Januari 2012

Muhammad bin Sirin

Sirin berhasrat menyempurnakan separuh dari agamanya dengan menikah setelah Anas bin Malik r.a. membebaskannya dari belenggu perbbudakan dan setelah pekerjaannya mendatangkan banyak keuntungan, karena dia memang seorang ahli membuat periuk.

Jatuhlah pilihannya pada budak wanita Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bernama Shafiyah untuk dijadikan pendamping hidupnya. Shafiyah adalah seorang gadis muda yang cerah wajahnya, baik hatinya. Pandai dan sangat disayangi penduduk Madinah yang mengenalnya. Gadis-gadis remaja dan orang-orang tua yang melihatnya memiliki pandangan yang sama bahwa dia adalah seorang wanita yagn berpikiran cemerlang dan berbudi luhur. Yang paling menyayangi beliau adalah istri-istri Rasulullah saw., terutama ummul mukminin Aisyah r.a.

Pada hari yang telah direncanakan, Sirin menghadap khalifah Rasulullah saw, Abu Bakar Ash-Shidiq untuk meminang Shafiyah. Abu Bakar segera menyelidiki hal ihwal si peminang seperti layaknya seorang ayah manakala putrinya hendak dipinang orang.

Tidak aneh, karena kedudukan Shafiyah bagi Abu Bakar laksana putri bagi ayahnya, disamping ia adalah amanat yang dititipkan Allah kepadanya. Oleh karena itu beliau meneliti keadaan Sirin dengan cermat dan mempelejari kehidupannya dengan hati-hati. Di antara yang dimintai keterangan tentangnya adalah Anas bin Malik r.a. Ketika ditanya, Anas menjawab, “Nikahkan lah ia dengan budakmu wahai amirul mukminin, dan janganlah engkau mengkhawatirkan keadaannya, saya tidak mengenalnya melainkan bahwa dia adalah seorang yang bagus agamanya, bagus akhlaknya dan menjaga kehormatannya. Aku telah menjalin hubungan dengannya semenjak menjadi tawanan Khalid bin Walid bersama empat puluh budak lain yang masih kecil-kecil. Setelah dibawa ke Madinah, Sirin menjadi bagianku dan aku sangat beruntung mendapatkan dia.”

Akhirnya Abu Bakar Ash-Shidiq merestui pernikahan antara Shafiyah dengan Sirin. Maka diselenggarakanlah walimah pernikahan seperti halnya walimah untuk putrinya sendiri. Suatu hal yang sangat jarang dinikmati oleh budak atau pembantu wanita lainnya di Madinah.

Pernikahan itu disaksikan oleh banyak sahabat utama, di antaranya terdapat 18 sahabat yang ikut perang Badar. Ubai bin Ka’ab penulis wahyu Rasulullah saw. diminta untuk mendo’akannya sementara hadirin mengamininya.

Pengantin wanita dirias oleh tiga dari ummahatul mukminin untuk suaminya. Di antara buah dari pernikahan itu lahir seorang bayi yang dua puluh tahun kemudian menjadi satu di antara ulama yang tersohor. Dialah Muhammad bin Sirin. Marilah kita ikuti lembaran hidup tabi’in utama ini dari awal.

Muhammad bin Sirin lahir dua tahun sebelum berakhirnya khilafah Utsman bin Affan r.a. dan tumbuh besar di suatu rumah yang dipenuhi semerbak wewangian takwa dan wara’ di setiap sudutnya.

Memasuki usia remaja, anak itu mendapati masjid Rasulullah penuh dengan para sahabat dan tokoh tabi’in seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Imron bin Hushain, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan Abu Hurairah.

Betapa antusias beliau menyambut mereka seperti layaknya orang kehausan yang menemukan air yang jernih. Diserapnya dari mereka ilmu-ilmu dari Kitabullah, didalaminya masalah fiqih dan riwayat-riwayat hadits Rasulullah saw. Otaknya makin subur dan penuh dengan hikmah dan ilmu, jiwanya makin kaya akan kebaikan dan hidayah.

Kemudian berpindahlah keluarga beserta remaja yang brilian ini ke Bashrah dan menjadikannya sebagai tempat untuk menetap.

Ketika itu, Bashrah termasuk kota Baru yang dibangun kaum muslimin pada akhir masa khalifah Al-Faruq Umar bin Khathab r.a. Kota tersebut merupakan kota yang istimewa bagi umat Islam pada masa itu, yaitu sebagai basis bagi pasukan muslimin untuk berperang di jalan Allah, sebagai pusat pengajaran dan pembinaan bagi penduduk Irak dan Persia yang baru memeluk Islam dan merupakan cermin masyarakat Islam yang giat berusaha untuk dunia seakan hidup selamanya dan beramal untuk akhirat seakan hendak mati keesokan harinya.

Muhammad bin Sirin menjalani lembaran hidup yang baru di Bashrah dengan proporsional. Sebagian dari harinya digunakan untuk mencari ilmu dan ibadah, sebagian lagi untuk mata pencaharian dan berdagang.

Telah menjadi kebiasaan beliau, ketika matahari terbit, beliau berangkat ke masjid Bashrah untuk mengajar sambil belajar. Bila matahari mulai tinggi, beliau keluar menuju pasar untuk berdagang. Bila malam menjelang, beliau tekun di mihrab rumahnya, menghayati Al-Qur’an dengan sepenuh jiwa sampai menangis karena takutnya kepada Allah. Sampai-sampai keluarga dan sahabat-sahabat karibnya merasa iba mendengar tangisannya yang menyayat hati.

Setiap kali beliau ke pasar di siang hari, tak bosan-bosannya beliau mengingatkan manusia akan kehidupan akhirat dan menjelaskan akan hakikat dunia. Beliau memberikan bimbingan kepada mereka tentang cara mendekatkan diri kepada Allah. Beliaulah yang selalu menjadi penengah bila terjadi sengketa atau keributan di antara mereka. Terkadang beliau menghibur dengan cerita-cerita yang menghibur hati yang gundah dan lelah tanpa menjatuhkan wibawanya di hadapan para sahabatnya.

Allah telah menganugerahkan kemuliaan kepada beliau, sehingga mudah mengambil hati orang dan diterima oleh semua kalangan. Bahkan bila seseorang sedang lupa diri segera sadar begitu melihat Ibnu Sirin di pasar, mereka ingat kepada Allah, kemudian bertahlil serta bertakbir.

Perjalanan hidup beliau adalah panduan hidup yang sangat bagus bagi manusia. Setiap kali mendapatkan persoalan dalam dagangannya, beliau memilih yang lebih selamat bagi tinjauan agama walau terkadang beliau harus rugu secara materi untuk itu.

Beliau memiliki pemahaman yang detail tentang agama, wawasan yang tajam untuk membedakan mana yang halal dan mana yang tidak. Adakalanya sikap beliau mengundang keheranan bagi sebahagian orang.

Pernah ada orang yang berdusta dengan mengatakan bahwa Ibnu Sirin berhutang dua dirham kepadanya. Beliau bersikeras tidak mau membayarnya, lalu orang itu menantang, “Engkau berani bersumpah?” orang itu mengira beliau tak akan bersumpah untuk itu, namun tenryata beliau menyanggupi dan ia bersumpah. Orang-orang berkata, “Wahai Abu Bakri, mengapa engkau rela bersumpah hanya karena uang dua dirham saja, padahal tempo hari Anda abaikan harta sebesar 40.000 dirham karena engkau meragukannya sedangkan tidak ada orang yang meragukan kejujuranmu.” Beliau menjawab, “Aku bersumpah karena tidak ingin jika dia makan harta yang haram, sedangkan aku tahu bahwa uang itu benar-benar haram baginya.”

Majlis Ibnu Sirin adalah majlis kebaikan, kebaktian dan nasihat. Jika orang menyebutkan keburukan orang lain di depannya, beliau bersegera mengingatkan kebaikan orang itu sepanjang pengetahuannya.

Bahkan pernah beliau mendengar seseorang mamaki Hajjaj bin Yusuf setelah matinya, beliau mendekati orang itu dan berkata, “Tahanlah wahai putra saudaraku, Hajjaj sudah kembali ke sisi Rabb-nya. Saat engkau datang kepada Rabb-mu, akan kau dapati bahwa bahwa dosa terkecil yang kau lakukan di dunia lebih kau sesali daripada dosa yang dilakukan Hajjaj. Masing-masing dari kalian akan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.”

Ketahuilah wahai putra saudaraku, Allah akan menuntut Hajjaj atas kezhalimannya terhadap orang-orang, namun Allah juga akan menuntut orang-orang yang menzhalimi Hajjaj. Maka janganlah engkau sibukkan dirimu untuk memaki dan mencela orang sesudah ini.”

Sudah menjadi kebiasaan jika ada orang yang berpamitan kepada beliau untuk pergi berdagang belia berpesan, “Wahai putra saudaraku, bertakwalah kepada Allah dan carilah apa yang ditakdirkan untukmu dari jalan yang halal. Ketahuilah, kalaupun engkau mencari jalan yang tidak halal, toh engkau tidak akan memperoleh kecuali apa yang tidak ditakdirkan untukmu.”

Kalimat yang benar senantiasa ditegakkan Muhammad bin Sirin di hadapan para penguasa Bani Umayah. Beliau secara tulus mewujudkan nasihat bagi Allah, Rasul dan imam-imam kaum muslimin.

Sebagai bukti dari kesimpulan di atas adalah, ketika Umar bin Hubairah Al-Farazi yang diangkat menjadi gubernur Irak, pernah meminta Ibnu Sirin menemuinya, lalu beliau datang bersama saudaranya. Sang wali menyambutnya dengan penuh hormat kemudian bertanya banyak tentang agama dan dunia. Dia berkata, “Dalam kondisi seperti apa Anda akan tinggalkan kota Bashrah, wahai Abu Bakri?” beliau berkata, “Akan aku tinggalkan kota dimana kezhaliman telah merajalela sedangkan Anda tidak menghiraukannya.” Saudaranya mencubit kaki Ibnu Sirin demi mendengar jawaban seperti itu, tapi beliau menoleh kepadanya, “Bukan engkau yang ditanya, melainkan aku. Ini adalah kesaksian, ‘Dan barangsiapa yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.’ (Al-Baqarah: 253).”

Usai pertemuannya, beliau dilepas kepergiannya seperti sambutan ketika datangnya, dengan penuh santun dan rasa hormat. Lalu dihadiahkanlah sekantong uang berisi 3000 dirham dari kas negara, tapi sama sekali tak disentuhnya. Bertanyalah anak saudaranya, “Apa yang menghalangimu untuk menerima hadiah dari amir itu?” Beliau berkata, “Dia memberi karena mengira aku orang baik. Bila benar aku orang baik, tidak pantas aku mengambil uang itu. Namun jika aku tidak seperti yang dia duga, tentu lebih layak lagi untuk tidak mengambilnya…”

Allah berkehendak menguji ketulusan dan kesabaran Muhammad bin Sirin berupa cobaan seperti yang telah menimpa orang-orang mukmin lain.

Satu contoh dari ujian tersebut adalah peristiwa dimana beliau membeli minyak seharga 40.000 dirham sebanya satu bejana penuh dibayar belakangan. Ketika diperiksa ternyata ada bangkai tikus yang sudah membusuh di dalamnya. Dia pikir, “Minyak ini ditampung dalam satu wadah dan najisnya tidak hanya di sekitar bangkai itu. Jika aku kembalikan kepada penjualnya, pasti akan dijual kepada orang lain.” Maka dibuangnya semua minyak di bejana tersebut. Ini terjadi di saat perniagaannya rugi cukup besar. Akhirnya beliau terbelit hutang, pemilik minyak menagih hutangnya sedangkan beliau tak mampu membayarnya, lalu orang itu mengadukan persoalan tesebut kepada yang berwenang. Akhirnya diperintahkan beliau dipenjara sampai bisa mengembalikan hutangnya.

Cukup lama beliau dipenjara, hingga penjaga merasa kasihan karena mengetahui keteguhan agama dan ketakwaannya dalam ibadah. Dia berkata, “Wahai Syaikh, pulanglah kepada keluarga bila malam tiba dan kembalilah kemari pada pagi harinya. Anda bisa melakukan itu sampai Anda bebas nanti.’ Beliau menolak, “Tidak, demi Allah aku tidak akan melakukan itu.” Penjaga berkata, “Mengapa?” Beliau menjawab, “Agar aku tidak membantumu mengkhianati pemerintah.”

Ketika Anas bin Malik sakit keras, beliau berwasiat agar yang memandikan jenazahnya kelak Muhammad bin Sirin, sekaligus menshalatkannya. Tapi Ibnu sirin masih berada dalam tahanan.

Hari dimana Anas wafat, orang-orang mendatangi wali dan menceritakan tentang wasiat sahabat Rasulullah saw. dan memohonkan izin untuk Muhammad bin Sirin agar bisa melaksanakan wasiatnya. Namun beliau berkata, “Aku tidak akan keluar kecuali jika kalian mengijinkan aku kepada orang yang aku hutangi, bukankah aku ditahan karena belum mampu membayar hutangnya?”

Orang yang dihutangi pun memberikan izin sehingga ia bisa keluar dari tahanannya. Setelah selesai memandikan, mengkafani dan menshalatkan jenazah Anas r.a, beliau langsung kembali lagi ke penjara tanpa sedikitpun mengambil kesempatan untuk mampir menengok keluarganya.

Usia Muhammad bin Sirin mencapai 77 tahun. Dalam wafatnya didapati bahwa beliau ringan dari beban dunia dan penuh pembekalan untuk hidup setelah mati. Hafshah binti Rasyid yang dikenal sebagai ahli ibadah bercerita, “Marwan Al-Mahmali adalah tetangga kami yang rajin beribadah dan tekun melaksanakan ketaatan-ketaatan. Tatkala beliau meninggal kami bersedih, lalu aku melihatnya di dalam mimpi dan aku bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, apa yang dilakukan Rabb-mu di terhadapmu?” Dia menjawab, “Allah memasukkan aku ke dalam surga.” Aku katakan, “Kemudian apa?” Dia menjawab, “Kemudian aku diangkat ke derajat ashhabul yamin.” Aku bertanya, “Lalu apa lagi?” Dia menjawab, “Lalu aku diangkat ke derajat muqarrabin.” Aku bertanya, “Siapa yang kamu lihat di sana?” Ia menjawab, “Aku melihat Al-Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin.”


Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 115-121


sumber: http://alislamu.com/kisah-tabiin/3658-muhammad-bin-sirin.html

20 Januari 2012

Suamiku, Berjihadlah Dijalan Allah!

Menjadi laki- laki, kewajibannya tidaklah ringan. Dan kami, istrimu ini, serta anak- anak kita, mengerti tentang hal itu. Di satu sisi, kau berjuang demi mengusahakan nafkah, pengayoman dan apapun yang terbaik untuk kami, sampai terlupanya dirimu atas perawatan diri sendiri. Di sisi lain, Kaupun harus mengkondisikan diri dan hatimu untuk kepentingan diri sendiri, ditambah lagi pemenuhan kewajibanmu kepada Allah. Mungkin berat bagimu untuk memilih, atau mendahulukan yang mana terlebih dahulu.

Wahai suamiku, jangan ragu!. Dahulukan kepentingan Allah atas kami. Dan insyaallah kami akan bersabar. Terlebih ketika panggilan berjihad memanggilmu, jangan pernah kau ragu lagi. Ringankan langkahmu, dan berangkatlah!.

Kau adalah jagoan kami. Pemimpin teladan keluarga, maka janganlah takut dan khawatir saat meninggalkan kami. Aku akan menjadi asisten setiamu, yang akan menjaga anak- anak dan diriku sendiri. Jangan biarkan kehormatan saudara muslim kita terkoyak. Jangan biarkan orang- orang kafir melecehkan islam, kehormatan kita.

Janganlah urusan dunia memberatkanmu, apalagi sampai mengikat hatimu untuk tetap disini. Berangkatlah!! Tentang kami yang kau tinggalkan dibelakangmu... Suamiku, kau masih mempunyai aku. Dan kita berdua memiliki Allah yang akan senantiasa menjaga kami, Percayalah dengan sungguh- sungguh tentang hal itu.

Urusan dunia ini insyallah tidak merisaukan aku. Dan bahkan bila kau hanya terdiam disini dengan ringan hati membiarkan mereka, saudara- saudara kita terdholimi, maka bagaimana aku bisa menganggakat wajahku, sedang Allah tiada berkenan atas mu.

Bukankah kau tahu bahwa, akupun suatu hari akan ditanya dihadapan Allah tentang tugasku mendampingimu. Dan apa yang harus aku sampaikan kepadaNya, saat aku diberikan pertanyaan bahwa seharusnya aku adalah alarm pertamamu, yang mengingatkanmu saat alfa dan melupakan bahwa akidah kita, saudara kita sedang di injak- injak oleh orang kafir.

Suamiku, berniagalah dengan Allah dengan peluhmu di medan dakwah. Dan sungguh ini adalah perniagaan yang akan sangat menguntungkan bagimu, begitu pula kami. Berikanlah semua modal ilmu, harta, kesehatan, tenaga, bahkan waktumu bersama kami, hanya untuk menegakkan Laa ilaha illallah.

Buatlah kami bangga dihadapan Allah karena memiliki suami dan ayah sepertimu. Bahagiakan kami dengan keberanian dan pengorbananmu menjadi prajurit Allah yang setia. Maka kamipun akan sangat mengerti. Kami akan sangat mengerti, bahkan saat kau tengah jauh dan sulit berada ditengah- tengah kami. Kami akan mengerti bahwa kewajibanmu memanglah sungguh banyak, dibandingkan waktumu yang ada, termasuk untuk kami.

Suamiku, bahkan kau tidak akan selamanya berada dan menemani dan bersama kami. Yakinlah, bahwa aku tidak diciptakan Allah untuk membebanimu, melainkan membahagiakan dan meringankan tugas beratmu. Yakinlah bahwa anak- anak kita tidak di amanahkan Allah untuk menghentikan tugas dakwah dan jihadmu, melainkan sebagai penghibur dan peletak cita- cita masa depan kita. Maka ringankanlah pikiranmu atas kami, semoga hal itu sedikit dapat meringankan tugas beratmu, kewajibanmu kepada Allah.

Bahagiakan kami dengan syahidmu. Agar kau kelak menjadi kenangan yang mendamaikan dan menjadi teladan yang baik bagi anak- anak kita. Agar saat nanti mereka dewasa, aku akan dengan tegak kepala menceritakan kepada mereka tentang sosok abi mereka yang dengan gagah menjadi prajurit tauhid, walaupun mungkin kau tiada bersama- sama kami lagi.

Maka Jangan pernah takut dengan suara manusia yang menghardikmu dan menghina kami. Karena memang Ridho Allah saja yang kita cari. Bukankah itu tujuan pernikahan kita, suamiku. Jangan pula kau khawatir hal itu akan mengganggu pemikiran dan suasana hatiku. Cukuplah ridho Allah yang membahagiakan aku, dan cukuplah ridhomu yang menenangkan aku.

Dan maafkanlah aku serta anak- anakmu ini jika selama ini kami mungkin telah membebanimu dengan sesuatu yang diluar kemampuanmu. Dan kamipun akan belajar mengendalikan diri kami agar InsyaAllah tidak kembali menyusahkanmu.

Akupun meminta maaf, karena aku hanya memiliki kedua tangan ini yang aku serahkan kepadamu dan dapat kau gunakan untuk apapun demi meringankan tugasmu. Akupun juga meminta maaf, karena aku hanya punya hati yang aku belajar ridho kepadanya untuk mengerti dan memahami serta ikut merasakan beratnya tanggung jawabmu sebagai suami dan dihadapan Allah nanti.

Voa_islam.com

10 Januari 2012

Tarbiyah Itu Melejitkan Potensi

Oleh: Eko Wardaya

dakwatuna.com - Tarbiyah Islamiyah adalah proses penyiapan manusia yang shalih agar tercapai keseimbangan potensi, tujuan, ucapan, dan tindakannya secara keseluruhan. Visi tarbiyah mencetak kader Rabbani dengan sepuluh karakteristik yang kita sudah ketahui bersama. Singkat kata tarbiyah ingin membentuk generasi unggul seperti para sahabat terdahulu yang berhasil membangkitkan Islam pada awal berdirinya.

Di rumah Abu Abdillah Al Arqam bin Abi Al Arqam para sahabat biasa mengikuti halaqah yang langsung ditangani oleh Rasulullah saw. Begitu pun tarbiyah, halaqah adalah fondasi dasar pembentukan kader-kader unggul.

Dalam berbagai teori kesuksesan Barat, menjadi sukses memerlukan coach. Dalam Halaqoh pun peran murabbi sangat sentral untuk mengimplementasikan manhaj pembinaan pada kader-kader dalam lingkaran halaqahnya. Pada proses awal halaqah, di saat seseorang baru berkenalan dengan Islam yang universal akan terjadi kecenderungan perubahan radikal pada dirinya, tak jarang polah tingkahnya pun menjadi radikal. Namun hal itu masih dalam batas yang wajar, dalam proses selanjutnya akan terjadi pendewasaan dan pematangan ideologis dalam diri kader tersebut.

Dalam perjalanannya banyak muncul fenomena figuritas kader terhadap murabbi atau anggapan bahwa halaqah adalah segalanya, itu biasa terjadi dan solusi terkait pun sudah banyak. Namun ada beberapa fenomena lain yang berkembang dari perjalanan halaqah kini, yaitu seputar karakter kader yang terbentuk, di antaranya berpikiran sempit dan tak bervisi serta macam-macam karakter tak unggul lainnya yang menggambarkan tak kunjung matang dan dewasanya sebuah proses ideologisasi. Padahal seharusnya tarbiyah mampu merubah pecundang menjadi pemenang dan dapat memunculkan potensi yang terpendam.

Apa penyebabnya? Tak lain karena peranan tarbiyah dzatiyah yang tak mereka punyai dalam diri. Bagaimanapun tarbiyah dzatiyah atau pengalaman belajar mandiri justru memiliki peranan besar dalam proses pembinaan kader itu sendiri.

Kesadaran akan pengalaman belajar mandiri ini yang harusnya dipantik dalam proses halaqah dan di sinilah sejatinya peran seorang murabbi sebagai coach. Murabbi harus berperan sebagai fasilitator dalam melejitkan potensi binaannya, bukan hanya memutabaah ibadah yaumiyah dan komitmen berjamaahnya saja. Hal ini yang menyebabkan terkekangnya potensi kader.

Sebuah refleksi untuk para murabbi termasuk saya, sudahkah kita membuat visi halaqah binaan kita? Jika sudah, apakah visi tersebut dijiwai sebagai acuan dalam proses pembinaan atau tidak? Gagal berencana sama saja merencanakan kegagalan. Tak ada visi dalam halaqah yang pada akhirnya menjadi penyebab tumpulnya potensi kader, karena Tarbiyah itu melejitkan potensi bukan mengekang.

09 Januari 2012

Alloh cured him by adzan

Sangat menyentuh.. untuk menjadi ibroh buat kita semua..

Dering suara Hand Phone (HP) di malam nan sunyi membangunkan tidur Syekh Abdurrahman yang sedang beristirahat di rumahnya. Saat itu jam menunjukkan pukul 10 malam. Dilayar HP beliau Muncul nomor yang tidak dikenal.

Syekh sebenarnya ingin tidak mengangkatnya, namun karena beliau penasaran akhirnya beliau mengangkatnya dan mulai menyapa, “Assalamu’alaikum, Who is this?”.

Kemudian penelpon itu menjawab “Wa’alaikumussalam, This is me Syekh, Ahmed from Bully, Syekh I am so sorry to call you late night. Syekh Please, come here, my Brother is unconscious, he got accident, and The Doctor said that he can’t help him and his live is only waiting for death. Please help us!”.

Kemudian Syekh Abdurrahman baru paham kalau yang menelpon itu adalah salah seorang pengurus masjid besar Bully, New South Wales Australia.

Syekh Abdurrahman kenal Ahmed karena di daerah Illawara new south wales, pengurus masjid terdaftar dengan rapi dan mendapat pengakuan dari pemerintah. Mereka sering ketemu apabila ada acara Fun Raising, Ied Festival, bahkan acara-acara yang diadakan oleh pemerintah Australia .

Sejenak Syekh Abdurrahman bangun dari tempat tidurnya. Kemudian beliau bergegas berangkat setelah mendapatkan sebuah nomor kamar di Wollongong Hospital dari si penelpon.

“Assalamualaikum,” sapanya ketika memasuki ruangan dimana si Abdulloh terbaring tak berdaya. Perban serta bau obat meliputi disekujur tubuhnya. “Wa’alaikumussalam, Alhamdulillah, Syekh, Thanks for your coming, please syekh say something to Abdurrahman, Doctor can't do more, and said that he will die..., please say something to Abdurrahman.” Pinta kakaknya dengan menangis.

Syekh memandang di sekitar ruangan itu telah ada beberapa keluarga yang juga menangis. “Ok, calm down, I will speak to him, please don’t cry here, because it can make him sad,” kata Syekh Abdurrahman. Kemudian Syekh Abdurrahman mendekat ke tubuh Abdulloh yang penuh dengan luka.

Dilihatnya sebuah sosok yang masih hidup, tetapi tidak bergerak sedikitpun, bahkan menggerakkan bibir dan mengedipkan mata saja ia tak mampu. Kemudian Syekh Abdurrahman duduk tepat disebelah kanan kepala Abdulloh, sehingga memungkinkan beliau untuk berbicara ditelinga Abdulloh dengan jarak paling dekat.

Sejenak Beliau berdoa dan kemudian menggenggam lemah tangan Abdulloh. “Assalamu’alaikum brother, this is me, Syekh Abdurrahman From Wollongong, Brother, I come here to meet you, I know that you’re good Moslem, you help Alloh’s to call adzan every day from the mosque, you remind people to pray in the mosque with you, I do sure that everybody and Alloh love you brother, Alloh will help you, He will give you health and happiness. Brother, we still love you to call adzan everyday in the mosque, could you please call adzan again, Alloh love it, please call adzan for us, we will pray with you now”.

(Assalamu’alaikum saudaraku, saya adalah Syekh Abdurrahman dari Wollongong . Saudaraku, saya datang kesini untuk menemuimu, saya tahu kalau kamu adalah muslim yang baik, kamu telah menolong Alloh untuk mengumandangkan adzan setiap hari dari masjid. Kamu mengingatkan orang-orang untuk sholat di masjid, saya sangat yakin kalau setiap orang dan Alloh menyayangi kamu, Alloh akan menolong kamu, Dia akan memberimu kesehatan dan kebahagiaan. Saudaraku, kami masih ingin mendengar engkau mengumandangkan adzan dimasjid, dapatkah engkau melakukannya, Alloh akan menyukainya, Tolong engkau kumandangkan adzan untuk kami, kami akan sholat denganmu sekarang).

Sejenak terlihat airmata keluar dari kedua mata dan menetes melewati pipi Abdulloh. Tak berapa lama kelopak matanya bergerak-gerak perlahan, kemudian matanya membuka sedikit demi sedikit. Bibirnyapun kemudian bergerak-gerak perlahan, seolah ia berusaha untuk mengumandangkan adzan.

Syekh Abdurrahman memandang wajah Abdulloh dengan tersenyum, “Alhamdulillah” keep going brother, I know you’re calling adzan for us”. (Alhamdulillah, teruskan saudaraku, saya tahu engkau sedang mengumandangkan adzan untuk kami).

Dan... Subhanalloh, secara tidak diduga monitor alat pendeteksi jantung yang dipasangkan di tubuh abdulloh menunjukkan kerja jantung Abdulloh yang berangsur-angsur menjadi normal yang menunjukkan Abdulloh telah sehat kembali.

Ahmed yang mengetahui hal itu kemudian melakukan sujud syukur di dalam ruangan itu, kemudian diikuti saudaranya yang lain. Ahmed kemudian memeluk Syekh Abdurrahman dan berkali-kali mengucapkan terima kasih.

Tak berapa lama Sang Dokter muncul kembali dan mengecek kesehatan Abdulloh. Seraya ia bertanya, “What was happen? What did you gave to him?” Ia bertanya kepada Ahmed, yang berada di dekatnya. “Adzan” Jawab Ahmed dengan tersenyum.

“Adzan? Was Adzan cured him?” (Apakah adzan yang telah menyembuhkannya?) Tanya sang dokter kepada Syekh Abdurrahman yang juga masih berada disitu? “Yes, Alloh cured him by adzan,” jawab Syekh Abdurrahman dengan tersenyum pula.

Sang dokter yang bukan muslim tersebut semakin terheran-heran, kemudian ia mengangguk-angguk, ikut tersenyum dan berkata kepada Syekh Abdurrahman. “Someday I will ask you about adzan, please give your number to me,” katanya. “Sure,” jawab syekh Abdurrahman dengan penuh keyakinan.

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (QS. Muhammad [47] : 7)

Subhanalloh.....

source: Hermanto {kipas_2006@googlegroups.com}